Monumen adalah bangunan atau tempat yang mempunyai nilai sejarah yang penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi oleh Negara. Monumen juga diartikan dengan bangunan (berupa tugu) sebagai peringatan suatu peristiwa dalam sejarah (Marhijanto, 1995:414). Atau sesuatu benda yang sengaja dibuat untuk suatu peringatan kepada suatu peristiwa penting atau bersejarah (Poerwadarminta, 2003:774). Monumen-monumen tersebut ada yang berbentuk candi dan manusia misalnya monumen berbentuk candi dapat kita lihat pada Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana, berbentuk manusia biasanya dibangun untuk mengenang tokoh-tokoh penting dalam sebuah perisiwa, misalnya patung I Gusti Ngurah Rai di Jalan Bay Pas Ngurah Rai dan di depan pintu masuk Bandara Ngurah Rai. Patung Kapten Japa di perempatan Jalan Gatot Subroto Timur dan lain sebagainya.
Tujuan dari pembangunan monumen tersebut agar generasi selanjutnya bisa mengenang dan menghormati jasa para pahlawan serta mengaplikasikan nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalam pembangunan monumen tersebut. Berbeda dengan paparan di atas, di Desa Melinggih, Kecamatan Payangan terdapat sebuah monumen yang dibangun bukan untuk mengenang serta memperingati peristiwa yang berhubungan dengan perjuangan menentang penjajahan Belanda. Melainkan untuk mengenang serta menghormati jasa-jasa seseorang tokoh penguasa lokal yang dianggap oleh warga Payangan sebagai “hero” yang telah membela tanah kelahirannya berperang melawan Kerajaan Klungkung. Monumen tersebut dikenal dengan nama Monumen Peringatan Ida Bhatara Mantuk Ring Rana. Monumen peringatan ini dibangun oleh warga setempat untuk menghormati Raja Payangan yang bernama Ida Dewa Agung Gde Agung Gede Oka, yang gugur saat perang. Peristiwa ini lebih dikenal dengan “Uwug Payangan” (Nindhia, 1976: 1-99). Uniknya monumen tersebut dibangun berbentuk Padmasana. Seperti yang kita ketahui secara umum di Bali, Padmasana merupakan tempat untuk memuja Ida Shanghyang Widhi Wasa.
Aalasan kenapa Monumen Peringatan Ida Bhatara Mantuk Ring Rana justru dibangun menyerupai Padmasana dikarenakan untuk menghormati roh Ida Dewa Agung Gde Oka yang gugur pada saat peristiwa Uwug Payangan. Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan zaman kerajaan yang menganggap raja adalah seorang Dewa di sekala. Tetapi jika kita melihat dari konsep Agama Hindu, pernyataan di atas serta dikritisi secara akademik adalah keliru. Padmasana kita tahu dalam ajaran Agama Hindu adalah tempat Melinggih atau berstananya Ida Sanghyang Widhi Wasa (Titib, 1989: 26; Titib, 2003: 106; Dwijendra, 2010: 7). Karena monumen itu adalah didedikasikan atau diperuntukkan kepada Raja Payangan IV yang gugur dalam medan pertempuran sewaktu peristiwa Uwug Payangan maka akan lebih tepat bangunan tersebut dikatakan sebagai padmasari. Hal tersebut dikarenakan padmasari berbeda dengan fungsi padmasana, bangunan padmasari tidak menggunakan dasar bhadawang nala dan juga disebutkan padmasari adalah tempat/linggih Dewa Pitara untuk sementara dalam arti tidak permanen yang memiliki bentuk yang lebih sederhana (Atmaja, 2011: 47).
Dewa Pitara yang dipuja pada padmasari tersebut adalah seorang raja. Maka harus ditafsirkan bahwa raja sebagai penguasa dunia dalam konteks kultus Dewa Raja. Raja itu adalah titisan Dewa turun ke dunia. Karena kita menganggap raja adalah keturunan dewa atau Surya, Surya sebagai matahari yang mengeluarkan sinar. Maka sinar sama artinya dengan Div sama dengan Dewa sehingga raja juga disebut sebagai dewa yang turun ke dunia, maka pantaslah beliau di stanakan di sana. Oleh karena itu Monumen Peringatan Ida Bhatara Mantuk Ring Rana bukanlah padmasana, paling tidak itu adalah padmasari yang tingkatanya di bawah padmasana untuk memuja kekuatan-kekuatan gaib di luar Ida Sanghhyang Widhi Wasa. Karena padmasari itu umumnya dipergunakan untuk pemujaan Dewa Pitara atau roh leluhur serta sebagai tempat penyawangan. Bentuk pelinggihnya hampir mirip dengan padmasana seperti tempat duduk di atasnya.
Jadi kalau monumen itu disebut menyerupai padmasana maka tapsiran kita salah, apakah raja yang gugur di medan perang setelah meninggal rohnya dapat disejajarkan dengan Ida Shanghyang Widhi Wasa. Jadi pada padmasari tersebut yang dipuja di sana memang roh dalam arti menghormati roh beliau sebagai pitara yang gugur sebagai raja serta dianggap sebagai pahlawan “hero lokal” oleh masyarakat Payangan dalam peristiwa Uwug Payangan. Maka wajar roh beliau dipuja di sana bahwa beliau dianggap heroik oleh masyarakat sekitar pada saat membela tanah kelahiranya.
Pernyataan di atas sesuai dengan teori yang berkembang luas di Nusantara mengenai konsep dewa raja (dewa Nyalantara) yang dikuatkan pula oleh pendapat Sagimun (1987: 50), menyatakan bahwa, “Seorang pemimpin harus gagah berani. Ia harus seorang yang sakti, dan ia juga harus mampu membela keamanan dan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin yang seperti itu sangat ditaati serta dihormati, bahkan meskipun orang itu sudah meninggal masih juga dihormati dan dimuliakan dalam bentuk bangunan-bangunan pemujaan” (Sagimun, 1987: 50; Lihat pula Kartodirdjo, 1975: 189 ; Soekadijo, 1958: 28). Apapun bentuknya sesungguhnya keberadaan monumen menjadi pengimplemntasian nilai-nilai luhur yang harus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Serta dapat dijadikan refleksi dalam melangkah ke arah tindakan yang menyejarah bagi generasi penerus bangsa ini. Secara garis besar, nilai-nilai yang terkandung pada Monumen Peringatan Ida Bhatara Mantuk Ring Rana adalah sebagai berikut: (1) Nilai Pendidikan, (2) Nilai Patriotisme, (3) Nilai Religius, dan (4) Nilai Budi Pekerti Luhur.