Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Realita yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari sejarah masa lalu, dan yang akan terjadi di masa mendatang merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi saat ini. Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman, dan perbedaan, seperti perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama dan berbagai perbedaan lainnya. Demi menjaga persatuan dan kesatuan di tengah-tengah keberagaman maka bangsa Indonesia membutuhkan alat untuk mempersatukan hal tersebut. Semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan alat yang dapat dipergunakan untuk mempersatukan keberagaman yang ada sebagai sebuah potensi untuk kepentingan bangsa (MPR, 2014:187). Secara rill Indonesia merupakan negara plural, hal tersebut terbukti dari kekayaan sosial-budaya yang tidak kalah heterogen jika dibandingkan dengan kondisi alamnya, tidak kurang dari 200 juta penduduk hidup di wilayah nusantara dengan berbagai keberagaman.
Berbicara mengenai keberagaman, pluralistik dan multikultur, Bali merupakan salah satu tempat yang memiliki keragaman budaya (etnik, agama). Namun sebelum keberagaman etnik dan agama mewarnai masyarakat, Bali seseungguhnya sudah beragam. Hal tersebut ditegaskan oleh Bawa Atmadja (2011: 1) jauh sebelum Bali mendapat pengaruh dari luar sesungguhnya Bali sudah mencirikan masyarakat yang multikultur, hal tersebut terlihat dari pengelompokan sosial dalam masyarakat Bali seperti wangsa (brahmana, kesatria, wesya dan sudra atau jaba), soroh (klen pasek, pande, bendesa mas, dan lainnya).
Namun, pada era kekinian Maryati (2011: 128) mendiskripsikan Bali dalam konteks ruang dan waktu, tidak dapat dikatakan homogen atau tunggal, melainkan heterogen, pluralistik dan multikultur. Kenyataan tersebut dibuktikan dari masyarakat yang tinggal di Bali tidak hanya dihuni oleh etnik Bali tetapi ada juga dibeberapa tempat yang terdapat etnik Cina dan Jawa, sebut saja beberapa daerah seperti Singaraja, Payangan, Kintamani, Klungkung dan lainnya. Yang patut dibanggakan adalah dari daerah-daerah yang memiliki keragaman budaya (multikultural) sebagaimana yang disebutkan di atas, adalah masyarakatnya hidup rukun, dan tidak jarang mereka membantu kegiatan lintas agama. Seperti contoh pecalang Bali yang ikut mengamankan suasana Sholat Idhul Fitri serta budaya ngejot yang dilakukan etnik Cina pada Hari Raya Imlek, kemudian perkawinan lintas agama. Fenomena perkawinan lintas agama bukanlah fenomena baru di masyarakat, setidaknya perkawinan model ini telah terjadi pada abad ke-19. Hal tersebut dibuktikan dari hasil kajian Pageh (2013: 60) “…proses yang demikian terlihat pada politik perkawinan putri Raja Pemecutan III Anak Agung Ayu Rai yang dinikahkan dengan Raden Sosrodiningrat. Mengikuti agama suaminya Anak Agung Ayu Rai mengubah namanya menjadi Dewi Khotijah…”
Gambaran tersebut memberikan pemahaman bahwa rasa senasib sepenanggungan serta munculnya sikap toleransi tidak terlepas dari faktor historis dari kelompok masyarakat yang berbeda budaya tersebut. Sebut saja hubungan antara etnik Bali dan Jawa di Buleleng yang dikenal dengan istilah nyama Bali nyama Islam (lihat Babad Buleleng) serta ikatan etnik Bali dan Cina di Payangan (lihat Babad Uwug Payangan). Jika dicermati lebih dalam keberagaman budaya yang dimaksud tidak hanya sebatas keragaman etnik tetapi keragaman agama, bahasa, mata pencaharian dan kuliner termasuk di dalamnya. Disadari atau tidak, harmonisasi pada masyarakat multikulturan yang dibangun oleh para pendahulu kita sesungguhnya menyimpan potensi konflik yang besar. Dewasa ini seringkali perbedaan yang ada dijadikan pemicu konflik yang berujung pada perpecahan. Steriotip, prasangka dan diskriminatif yang muncul pada generasi yang belum memahami akan pentingnya keberagaman dalam masyarakat seringkali memandang negatif hal di luar kelompoknya. Padahal jika masyarakat multikultural tersebut dapat dipahami dengan baik, keberadannya dapat meningkatkan potensi wisata dan memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan. Khusus pada dunia pendidikan masyarakat multikultural memberikan sumbangannya berupa pendidikan nilai yang terbangun di dalam masyarakat multikultural tersebut, di antaranya; 1) Nilai toleransi, 2) Nilai gotong-royong, 3) Nilai saling menghargai, 4) Nilai demokrasi, dan 5) Nilai tolong-menolong.
Nilai yang terbangun tersebut bukan lagi sebatas teori namun sudah diaplikasikna dalam kehidupan sehari-hari, seperti contoh pengaktualisasian nilai toleransi. Inti dari perilaku toleransi menurut Wibowo (2012: 43) adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat sikap, tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Perilaku tersebut sangat penting untuk diamalkan, apalagi di lingkungan yang multikultur. Pengaplikasian sikap toleransi akan memupuk integrasi antar agama dan etnik. Semisal, saat umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi, umat lain menghormati hari keagamaan tersebut dengan tidak melakukan aktifitas sebagaimana mestinya. Contoh lain adalah pengaktualisasian nilai gotong-royong. Pengaplikasiannya tercermin dari dari kegiatan menjaga lingkungan dari sampah. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh etnik Bali, melainkan telah meluas sampai lintas etnik. Pasrtispasi yang dilakukan oleh etnik Cina dan Jawa semakin mempertegas bahwa nilai gotong-royong sudah terbangun. Pada saat kegiatan gotong-royong berlangsung, bukan jumlah setiap kelompok atau besar bantuan yang dijadikan ukuran, tetapi bagaimana kesadaran setiap individu untuk ikut menjaga lingkungan dari sampah (Indra, 2015).
Melihat besarnya potensi pendidikan nilai yang terbangun pada masyarakat multikultural, hendaknya saat ini kita (guru) mampu menampilkan sebuah model pembelajaran inovatif yang memanfaatkan lingkungan sekitar peserta dididik sebagaimana konsep pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran CTL, inquiry dengan menerjunkan langsung siswa ke tengah-tengah masyarakat multikultural dan memberikan format sedemikain rupa sehingga siswa menggali sendiri nilai yang terkandung dengan mengamati fenomena dalam masyarakat tersebut dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran di luar kelas. Setidaknya dengan kegiatan di atas kita (guru) tidah hanya mencetak generasi muda yang fasis melafalkan contoh tindakan-tindakan multikultural tanpa pernah melihat ataupun langsung mengaktualisasikan, tetapi diharapkan mampu mencetak generasi muda yang menterjadikan tindakan multikultural tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sumber
Bawa Atmadja, Nengah. 2011. “Pendidikan Agama Hindu Di Sekolah: Dari Toleransi Setengah Hati Menuju Toleransi Sepenuh Hati”. Dalam Bawa Atmadja, dkk (Ed.). Ajeg Bali Dalam Perspektif Pendidikan Wacana Dari Undiksha. (hlm. 1-26). Singaraja: Undiksha Press.
Indra Pratama, I Gede (Tesis). 2015. Masyarakat Multikultural Di Desa Melinggih (Pengintegrasian Nilai-Nilai Multikultural Berbasis Masyarakat Pada Mata Pelajaran IPS Kurikulum 2013 Di SMP Negeri 1 Payangan). Undiksha.
Maryati, Tuty. 2011. “Ajeg Bali Dalam Bingkai NKRI: Refleksi Kesadaran Sejarah Dan Realitas Masyarakat Multikultural”. Dalam Bawa Atmadja, dkk (Ed.). Ajeg Bali Dalam Perspektif Pendidikan Wacana Dari Undiksha. (hlm. 127-147). Singaraja: Undiksha Press.
MPR. 2014. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI
Pageh, I Made, dkk. 2013. Model Integrasi Masyarakat Multietnik Nyama Bali-Nyama Selam Belajar dari Enclaves Muslim di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.