SUMPAH PEMUDA DULU DAN SEKARANG

Menyinggung tentang sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928, tentu kita diingatkan kembali akan sebuah momentum yang sangat krusial dan sangat luar biasa. Jika kita memutar kembali memori masa lalu untuk melihat kehidupan para pemuda pada masa itu, memang terlihat sangat membanggakan karena semangat juang yang membara dan pantang menyerah demi menggapai cita-cita bangsa bersama. Lewat pernyataan Bung Karno “beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kugoncangkan dunia” menandakan bahwa betapa tegas dan yakinnya beliau dengan kemampuan pemuda pada zamannya. Dalam M.C Ricklefs (1994) dijelaskan bahwa lewat sekumpulan pemuda Indonesia merdeka, peristiwa yang dimaksud adalah sekitar proklamasi. Dalam penggalan cerita tersebut dapat di lihat bahwa bagaimana semangat juang kaum muda yang terdiri dari Wikana, Chairul Saleh dan kawan-kawan mendesak golongan tua yang dipimpin oleh Soekarno untuk segera mengumandangkan kemerdekaan ditengah-tengah berita kekalahan Jepang. Hal serupa juga diungkapkan oleh Selamat Muljana (2008) Beliau memberikan contoh, perjuangan arek-arek Suroboyo yang dipimpin oleh Bung Tomo, melawan tantara sekutu demi mempertahankan Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari peristiwa di atas kita dapat menilai bagaimana besar dan krusialnya peran pemuda pada masa itu.

Lalu bagaimana peran pemuda saat ini? Bukankah sekarang Indonesia sudah merdeka dan perjuang fisik tidak dibutuhkan lagi? Lalu apa yang dapat kami lakukan (para pemuda/ siswa) untuk menghayati sumpah pemuda 28 Oktober 1928? Mungkin pertanyaan itu sering muncul di benak kita. Namun untuk mereaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam sumpah itu, saat ini bukan hanya melalui kemeriahan berbagai kegiatan seperti kirab pemuda dan sarasehan. Kegiatan tersebut bukannya tidak tepat tetapi esensi dari kegiatan tersebut hanya menampilkan euphoria yang mengenyampingkan proses dan tujuan dilaksanakannya kegiatan tersebut. Kirab pemuda contohnya esensi dari kegiatan tersebut adalah bagaimana mewadahi generasi muda dari berbagai suku, agama, ras, tempat tinggal bersatu padu mengenal satu sama lain berikrar serta menghayati sampai mengimplementasikan isi sumpah pemuda, namun kenyataan di lapangan berbanding terbalik. Kegiatan seperti itu saat ini lebih banyak menampilkan euphoria yang jauh dari makna kirab pemuda. Pemuda yang berkumpul dari berbagai kelompok lebih menonjolkan ke’aku’-nnya dibandingkan mau berbaur dan menjalin keakraban dengan kelompok lain. Tentunya, hal ini dapat memunculkan rasa chauvinisme yang berujung pada perpecahan.

Seperti dilansir pada Kompasiana, sudah tidak ada lagi pemuda yang memiliki cita-cita membebaskan Negara dari penjajahan asing seperti pemuda terdahulu, yakni Soekarno dan Sudirman. Padahal kenyataannya penjajah kini semakin marak dengan kedoknya yang beragam, misalnya sistem kapitalis. Dengan kata lain, perjuangan pemuda di masa kini sebenarnya lebih berat dan kompleks. Potret pemuda masa kini digambarkan lebih senang memikirkan artis idola bahkan kehidupan orang lain atau sering disebut dengan istilah “julid” dibandingkan memikirkan nasib bangsa. Ditambah lagi, pemuda masa kini lebih gemar menuangkan kegalauan hatinya melalui media sosial dibandingkan menyumbangkan pemikiran berharga bagi bangsa.

Koentjaraningrat (1974) juga memberikan pandangannya bahwa sebagian besar mentalitas masyarakat Indonesia memiliki budaya yang disebut “budaya menerabas”. Mentalitas yang seperti ini tidak mempertimbangkan dampak negatifnya dari suatu perbuatan, mentalitas seperti ini juga dapat disebut sebagai mentalitas yang menyukai atau mencari jalan paling gampang. Kebudayaan juga berkaitan dengan proses pembangunan mentalitas, ternyata mentalitas juga berkaitan erat dengan proses pembangunan di Negara ini. Dengan mentalitas tersebut dapat membuat Negara akan berkembang dengan baik, karena mentalitas yang baik yang ditanamkan sejak dini, namun bila mentalitas yang buruk terus tertanam maka akan berdampa buruk pula pada pembanguna di Negara ini. Maka tidak salah revolusi mental perlu digiatkan di berbagai elemen masyarakat untuk melahirkan genersi emas yang berkarakter. Tidak terkecuali Lembaga Pendidikan sebagai salah satu agen perubahan yang bertugas memanusiakan manusia sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara.

Bagaimana caranya? di era digitalisasi guru tidak perlu melakukan tindakan besar serta “Wahhh” dalam pengamalan nilai-nilai Sumpah Pemuda kepada siswa. Cukup dengan apa yang dikatakana Sanjaya seperti datang mengajar tepat waktu, mengucapkan salam, tegur sapa, berpakaian rapi, mengawasi siswa berdoa, gotong royong, rajin menabung, berkata sopan, tidak merokok di depan siswa, dan ikut menjaga kebersihan sekolah. Tindakan itu harus dengan pembiasan, keteladanan dan pemberian reward and punishment selama proses mendidik. Sangat penting menguatkan tindakan itu karena merupakan budaya adi luhung atau budaya asli Indonesia (saling menghormati, tegur sapa, tolong menolong dan gotong royong). Jika tidak dibangkitkan kembali dikawatirkan akan memudar dan hilang. Sangat disayangkan pondasi yang di bangun oleh para pendahulu hilang pada generasi saat ini. Maka dari itu sudah saatnya kita waspada sebagaimana yang ikatakan oleh Kambali (2013) dalam Seminar Sejarah Festival IYC yakni “untuk menghancurkan suatu bangsa, hancurkan ingatan sejarah generasi mudanya”.

Kiranya tindakan sederhana yang berdampak aman besar di atas dapat di jadikan alternatif bagi siswa untuk menjawab kegalauan mereka terhadap hal apa yang dapat “saya lakukan saat ini” untuk menghayati nilai-nilai sumpah pemuda. Sekali lagi tindakan di atas merupakan satu dari sekian tindakan yang dapat di contohkan ke siswa dalam menghayati sumpah pemuda saat ini. Output dari tindakan yang dicontohkan di atas tidaklah dapat dirasakan manfaatnya sekarang. Seperti pohon, tindakan tersebut membutuhkan proses dari tumbuh hingga berbuah, buah itulah yang nanti dapat dinikmati kelak. Jika guru mampu menerapkan tindakan sederhana tersebut secara konsisten bukan tidak mungkin apa yang dicita-citakan pemerintah mengenai generasi emas 2045 dapat terealisasi.

Sumber:

  • Kambali, Asep, 2013. Apa Jadinya Indonesia Tanpa Peran pemuda dalam Seminar

                                    Indonesia Youth Confrence (IYC) tersedia pada

                                   http://indonesianyouthconference.orgapa-jadinya-indonesiatanpa-

                                   peran-pemuda/.

  • Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalite Dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
  • Muljana, Slamet, 2008. Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid 2

                                  Yogyakarta: PT LKSI