“MERDEKA BELAJAR” SEBAGAI REPRESENTASI SEMANGAT KEMERDEKAAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN.

Sri Wilujeng, S.Pd.

———————————–

Peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76 baru saja kita lewati. Hampir sama dengan peringatan tahun sebelumnya, untuk tahun ini juga diperingatkan dengan sederhana karena kita masih berada dalam situasi pandemi Covid-19. Tapi bagaimanapun bentuk peringatan hari kemerdekaan tersebut, ada satu pertanyaan yang selalu muncul pada setiap hari kemerdekaan, yaitu “sudahkah kita merdeka?” Menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mulai dari definisi kata merdeka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Merdeka memiliki tiga pengertian: (1) bebas (dari perhambatan, penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak oleh tergantung kepada orang atau pihak tertentu. Wikipedia menguraikan, merdeka adalah kata dalam bahasa Melayu dan Indonesia yang bermakna bebas atau tidak bergantung/independen. Bagi Bangsa Indonesia, kemerdekaan bukan hanya dimaknai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Tetapi, lebih dari itu, kemerdekaan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi seluruh rakyatnya, yakni terbebas dari segala bentuk eksploitasi, kebodohan, dan ketidakadilan. Dapat kita lihat bahwa kemerdekaan mengandung arti yang sangat luas karena dapat mencakup dalam semua bidang; kemerdekaan dari penjajah, kemerdekaan dalam bidang ekonomi, kemerdekaan dalam bidang pendidikan, kemerdekaan dalam iklim demokrasi dan lain-lain.

Kegigihan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka semakin memiliki ruang yang sempit. Bahkan pendidikan yang diyakini sebagai alat untuk mewujudkan kemerdekaan telah dirundung berbagai persoalan. Ada beberapa persoalan yang tercatat. Pertama, soal akses setiap warga negara terhadap pendidikan. Hingga sekarang ini masih banyak warga negara yang kesulitan mengakses pendidikan akibat biaya pendidikan yang mahal. Kedua, soal fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang belum memadai dan merata. Masih banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan infrastruktur pendidikan yang memadai, seperti ruang belajar yang memadai, buku-buku, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Ketiga, soal kualitas pendidikan yang masih jauh dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekarang ini, akibat tuntutan pasar, kurikulum pendidikan disusun berdasarkan kebutuhan pasar tenaga kerja akan buruh terampil dan berupah murah. Keempat, gaji dan kesejahteraan para guru belum memadai. Akibatnya, banyak guru atau tenaga pengajar yang dibebani pekerjaan sampingan untuk menopang ekonomi keluarganya.

Khusus berbicara tentang kemerdekaan dalam bidang pendidikan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim telah meluncurkan sebuah program yang

bernama “Merdeka Belajar”. Menurut Nadiem, kata “Merdeka Belajar” paling tepat digunakan sebagai filosofi perubahan dari metode pembelajaran yang terjadi selama ini. Sebab, dalam “Merdeka Belajar” terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan untuk menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran. Konsep Merdeka Belajar terinspirasi dari filsafat Ki Hajar Dewantara yang memiliki dua esensi yaitu kemandirian dan kemerdekaan.

Program “Merdeka Belajar” menurut Mendikbud Ristek akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Program pendidikan “Merdeka Belajar” meliputi empat pokok kebijakan, yaitu: 1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); 2) Assesment Nasional; 3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi.

Uraian keempat pokok kebijakan tersebut adalah; Pertama, kelulusan diberikan sepenuhnya pada pihak sekolah melalui USBN. Berdasarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional,   khususnya pada Pasal 2, ayat 1; menyatakan bahwa ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan merupakan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan yang bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5, ayat 1, bahwa; bentuk ujian yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan berupa portofolio, penugasan, tes tertulis, atau bentuk kegiatan lain yang ditetapkan Satuan Pendidikan sesuai dengan kompetensi yang diukur berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. Ditambahkan pula pada penjelasan Pasal 6, ayat 2, bahwa; untuk kelulusan peserta didik ditetapkan oleh satuan pendidikan/program pendidikan yang bersangkutan. Dengan demikian, isi Permendikbud tersebut menunjukkan bahwa Guru dan sekolah lebih merdeka untuk menilai hasil belajar siswa.

Kedua, penggantian UN menjadi AN. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, UN dalam praktiknya selama ini telah menghasilkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, salah satunya adalah terjadinya ketidakseimbangan proses pembelajaran yang terjadi di sekolah. Siswa maupun sekolah cenderung lebih memfokuskan pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Sebagai pengganti UN adalah Assesment Nasional. Asesmen dimaksudkan untuk mengukur kemampuan peserta didik untuk bernalar menggunakan bahasa dan literasi, kemampuan bernalar menggunakan matematika atau numerasi, dan penguatan pendidikan karakter. Adapun untuk teknis pelaksanaan ujian tersebut dilakukan di tengah jenjang sekolah (di kelas 4, 8, 11), dengan maksud dapat mendorong guru dan sekolah untuk memetakan kondisi pembelajaran, serta mengevaluasi sehingga dapat memperbaiki mutu pembelajaran. Dengan kata lain, agar bisa diperbaiki kalau ada hal yang belum tercapai. Sebagai catatan, hasil ujian ini tidak digunakan sebagai tolok ukur seleksi siswa ke jenjang berikutnya. Adapun untuk standarisasi ujian, arah kebijakan ini telah mengacu pada level

internasional, mengikuti tolok ukur penilaian yang termuat dalam Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), tetapi penuh dengan kearifan lokal (Media Indonesia, 12/12/2019). Untuk kompetensi PISA lebih difokuskan pada penilaian kemampuan membaca, matematika, dan sains, yang diberlakukan pada negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sedangkan untuk kompetensi TIMSS lebih menekankan pada penilaian kemampuan matematika, dan sains, sebagai indikator kualitas pendidikan, yang tergabung dalam wadah International Association for the Evaluation of Educational Achievement, berpusat di Boston, Amerika Serikat (Koran Tempo, 12/12/2019).

Ketiga, penyederhanaan RPP. Berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019, tentang Penyederhanaan RPP, isinya meliputi: (1) penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada siswa; (2) Dari 13 komponen RPP yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, yang menjadi komponen inti adalah tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran yang wajib dilaksanakan oleh guru, sedangkan sisanya hanya sebagai pelengkap; dan (3) Sekolah, Kelompok Guru Mata Pelajaran dalam sekolah dan individu guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP secara mandiri untuk sebesar- besarnya keberhasilan belajar siswa. Bila dicermati dari keseluruhan isi surat edaran mendikbud tersebut, dapat dimaknai bahwa penyusunannya lebih disederhanakan dengan memangkas beberapa komponen. Guru diberikan keleluasaan dalam proses pembelajaran untuk memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP, sebab gurulah yang mengetahui kebutuhan siswa didiknya dan kebutuhan khusus yang diperlukan oleh siswa di daerahnya, karena karakter dan kebutuhan siswa di masing-masing daerah bisa berbeda. Untuk penulisan RPP-nya supaya lebih efisiensi dan efektif, cukup dibuat ringkas bisa dalam satu halaman, sehingga guru tidak terbebani oleh masalah administrasi yang rumit. Diharapkan melalui kebebasan menyusun RPP kepada guru, siswa akan lebih banyak berinteraksi secara aktif, dinamis, dengan model pembelajaran yang tidak kaku.

Keempat, pelaksanaan PPDB yang meliputi jalur zonasi, afirmasi, perpindahan tugas orang tua dan prestasi. Penggunaan sistem zonasi diharapkan dapat menghilangkan diskriminasi bagi anggota masyarakat untuk bersekolah di sekolah-sekolah terbaik. Sebagaimana dilansir dalam Beritatagar.id, Kemendikbud telah menyampaikan larangan bagi sekolah-sekolah SD untuk melakukan tes calistung sebagai syarat untuk masuk SD. Sudah sering kita dengar sebelumnya, beberapa sekolah SD yang „favorit” seringkali melakukan tes seleksi dalam PPDB di sekolah tersebut dimana kemampuan calistung merupakan salah satu yang diujikan. Orang tua yang ingin anaknya diterima di SD tersebut akan berusaha memberikan (memaksakan) pembelajaran calistung kepada anaknya yang masih berada pada usia TK. Piaget telah menjelaskan bahwa  anak-anak usia dibawah 7 tahun belum cocok

mendapat pelajaran calistung yang memerlukan cara berpikir terstruktur. Jika dipaksakan, anak akan kehilangan periode emas dan masa bermainnya sehingga dapat menurunkan gairah belajar dikemudian hari. Guru/orang tua juga seringkali menghukum anak-anak yang tidak dapat mengikuti pembelajaran calistung ini. Hal ini akan menghasilkan trauma bagi anak-anak dan pada akhirnya mereka akan menganggap proses pembelajaran adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Dengan reformasi PPDB yang dilakukan oleh Mendikbud Ristek telah memberikan kemerdekaan bagi masyarakat dalam mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah negeri.

Kemerdekaan dalam bidang pembiayaan juga dilakukan oleh Mendikbud Ristek dengan mengurangi batasan-batasan pada petunjuk teknis penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah sehingga sekolah dapat lebih leluasa dalam penganggaran dana tersebut dalam pemenuhan kebutuhan sekolah. Kepala Sekolah langsung berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sehingga proses pengadaan barang dan jasa menjadi semakin efisien. Dana BOS langsung ditransfer oleh pemerintah pusat ke rekening sekolah sehingga proses pencairan dana lebih cepat. Pengadaan barang dan jasa melalui sistem aplikasi Siplah juga semakin memudahkan tim PBJ sekolah dalam melakukan pengadaan barang/jasa dan membuat pertanggungjawaban tanpa melalui proses yang rumit.

Dari penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah melakukan berbagai terobosan dalam mewujudkan semangat kemerdekaan dalam dunia pendidikan kita. Tinggal kita sekarang selaku guru/pendidik yang berperan sebagai ujung tombak dalam mewujudkan “merdeka belajar” pada peserta didik. Pendidik harus memahami bahwa setiap individu (peserta didik) unik dan semua memiliki kecerdasannya masing-masing. Peserta didik harus diberikan kemerdekaan dalam mengembangkan kecerdasannya masing-masing dan bukannya “dibunuh” hanya untuk memenuhi arti kecerdasan yang tertanam dalam pemahaman umum masyarakat saat ini. Pendidik (guru) harus menghilangkan diskriminasi yang terjadi di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar siswa pernah merasakan atau mengetahui diskriminasi guru terhadap siswa. Siswa yang pandai mendapat perhatian lebih sedangkan siswa yang kurang pandai diabaikan. Pendidik tanpa sadar juga sering melakukan perundungan pada peserta didik melalui kata-kata yang diucapkan saat melakukan “pembinaan” terhadap peserta didik yang bermasalah. Dengan selalu melakukan update tentang pemahaman psikologi anak, tentu pendidik akan dapat berperan maksimal dalam mendukung terwujudnya “merdeka belajar”.

Peran masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mewujudkan “merdeka belajar”. Orang tua sering menuntut anak untuk berprestasi setinggi-tingginya sesuai dengan standar dan kriterianya. Terjadinya diskriminasi kecerdasan dalam pemahaman masyarakat umum telah menghambat proses tumbuh kembang anak (peserta didik). Kecerdasan pada bidang-bidang

tertentu (sains) sering dianggap lebih baik daripada kecerdasan pada bidang yang lain (seni dan olahraga). Hal ini membuat anak-anak (peserta didik) yang memiliki kecerdasan pada bidang seni dan olahraga tidak mendapat pelayanan yang maksimal. Bahkan, mereka juga sering dipaksakan untuk mengembangkan diri pada bidang yang bukan bakatnya demi mengikuti keinginan orang tua. Perubahan paradigma tentang kecerdasan mutlak dibutuhkan dalam masyarakat kita untuk mewujudkan “merdeka belajar” pada peserta didik. Dengan bersinerginya antara pemerintah, sekolah (pendidik) dan masyarakat dalam mewujudkan konsep/program “merdeka belajar” ini maka tujuan utama dari pendidikan yaitu memanusiakan manusia akan dapat diwujudkan.