ANTARA FENOMENA DAN TEORI SOSIAL

Dari perseptif ilmu sosial biasanya fenomena atau peristiwa yang dilihat memiliki makna yang tersembunyi yang sangat menarik untuk dibedah menggunakan teori sosial klasik, modern atapun posmo. Berbeda halnya dengan masyarakat awam, melihat fenomena sosial yang terjadi merupakan sebuah kejadian yang memang harus terjadi di jaman ini dan jika tidak diikuti maka apa yang di istilahkan kaum mileneial “galau” akan selalu menaungi. Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membedah salah satu fenomena yang tidak asing lagi bagi kita semua yakni olah raga sepak bola. Sepak bola yang awalnya dinikmati sebagai hiburan dan sebatas olahraga untuk menyehatkan badan, namun kini diubah menjadi modal finansial sebagai ajang bisnis bagi kaum kapitalisme untuk meraup kepentingan. Maka tidak salah apabila muncul implikasi seperti kegiatan nonton bareng, taruhan bola, budaya konsumtif, pengibaran bendera Negara peserta yang “lebay” dengan ukuran super besar dan budaya narsisme yang mengancam eksistensi suatu bangsa karena sudah mulai mengikis nilai-nilai kultural bangsa Indonesia. Fenomena-fenomena inilah yang menarik untuk dibedah dan dicari tahu makna barunya, guna menyadarkan generasi muda bahwa kita “Bangsa Indonesia” sedang berada dalam cengkraman kapitalisme korporat. Adapun dampak pengiring yang ditimbulkan dari ajang demam bola adalah sebagai berikut:

 (1) Kampung Global

     Fenomena demam bola kita ambil contoh piala dunia yang dilaksanakan pada tahun 2014, tepatnya di Brazil merupakan sebuah tempat yang jauh sekali bagi orang yang berada di Indonesia. Sesuatu yang mustahil bagi masyarakat kelas menengah untuk menonton dan merasakan semarak pertandingan di event piala dunia secara langsung, kecuali menjadi seorang konglomerat. Namun di zaman modernisasi seperti sekarang ini, penggila bola di Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat bisa dengan mudah menyaksikan euforia piala dunia seperti berada di stadion Brazil. Bertolak dari teori MCLuhan tentang global village, media komunikasi elektronik seperti Tv, internet merupakan kepanjangan sistem syaraf manusia (radio kepanjangan telinga, televisi kepanjangan mata) yang mampu menghadirkan sebuah realitas langsung kehadapan kita, sehingga kejadian di tempat jauh dapat ditampilkan dan dirasakan dalam sekejap waktu melalui layar televisi kita (Narendra, 2000: 161). Kondisi inilah yang disebut ‘kampung global”, kondisi di mana masyarakat Indonesia serasa berada di stadion Brazil menjadi penonton yang riuh bersama penonton lainnya, meskipun lewat menonton siaran langsung di layar televisi ataupun media streaming. Penggila bola serasa berada di Brazil, meskipun mereka berada di Indonesia. Kondisi ini menurut Yasraf Amir Piliang disebut dengan istilah dunia yang dilipat. Tetapi, teknologi yang disebutkan dalam teori McLuhan tentang kampung global seringkali membawa dampak pengiring yang cenderung mengarah pada hal-hal berbau negatif. Seringkali gambar-gambar yang ditunjukkan ditautan media massa tentang kegilaan suporter perempuan, bukan ekspresi mereka melainkan cenderung memperlihatkan bentuk tubuh dan gaya berpakaian mereka yang cenderung topless. Klik saja laman “Aksi Suporter Piala Dunia Brazil”, anda akan menemukan galeri khusus yang berjudul “Suporter Cantik dan Seksi di Piala Dunia Brazil”

     Fenomena ini akan memberikan contoh buruk bagi generasi muda dalam berperilaku dan berpenampilan apabila fenomena di atas menjadi tontonan sehari-hari

(2) Masyarakat Konsumtif

     Demam bola mengakibatkan setiap insan yang mencintai sepak bola gila membeli produk yang berkaitan dengan sepak bola. Fenomena riil di masyarakat, salah satunya dapat dilihat dari tindakan konsumsi akan merchandise sepak bola yang tidak lagi didasari nilai guna atau sebuah fungsi dari pemakaian barang yang bersangkutan melainkan pada konsumsi produk simbolik yang mendasarkan nilainya pada nilai-tanda. Akibatnya nilai suatu produk ditentukan oleh kandungan eksternalnya yang dilekatkan oleh produsen melalui pembentukan wacana atas simbol-simbol tersebut. Contohnya saja perilaku penggila bola yang lebih memilih membeli baju klub favoritnya di mall-mall bergengsi, dibandingkan membeli langsung di pasar-pasar. Padahal kalau dilihat dari segi fungsinya sama saja baju bola. Inilah fenomena masyarakat modern yang lebih memilih membuang uang-uang untuk kesenangan dengan mengkonsumsi citra (dan bukan fungsi) yang coba ditawarkan dengan memakai produk-produk tersebut.

     Tentunya penyebaran produk simbolik ini sangat didukung oleh kehadiran media massa sebagai instrument dari dominasi kelas dan kaum kapitalis menggunakan kekuasaan ekonomi dalam sistem pasar untuk memastikan arus informasi publik melalui media paralel dengan kepentingan dan minatnya. Kellner (dalam Syaiful, 2013:8) menghubungkan televisi dengan kapitalisme korporat dan sistem politik. Seperti contoh selama event piala dunia berlangsung, seringkali media massa menampilkan slodoran iklan yang diperankan oleh bintang sepak bola seperti Ronaldo dan Messi. Dari tayangan tersebut, seolah-olah orang yang menonton iklan tersebut, terutama kaum lelaki akan merasa “maco” apabila menggunakan shampoo yang dibintangi oleh Ronaldo, dan merasa gaul saat menggunakan handphone yang dibintangi Messi. Iklan tersebut secara tidak sadar memaksa kita untuk membeli atribut-atribut bola, kemudian barang-barang seperti iklan shampoo, Handphone, sampai sepatu yang dibintangi oleh pemain bola. Fenomena di atas yang dimaksud oleh Jean Baudrillard sebagai hipperialitas. Bahwa apa yang direproduksi dalam dunia tidak saja realitas yang hilang, tetapi juga dunia tak nyata, seperti fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction (Jenny, 2010: 82). Lebih jauh, berkembangnya budaya konsumerisme tidak terlepas juga dari pembentukan wacana yang mengarahkan interpretasi atau pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut terjadi melalui pesan yang disebarkan melalui media massa. Inilah yang dikatakan oleh Derrida, bahwa melalui bahasa realitas sosial tampaknya dapat diubah (Wirawan, 2012: 283). Terlihat dari beberapa wacana-wacana yang dimuat pada iklan di Televisi, misalnya “Jangan nonton bola tanpa kacang garuda”. Itu adalah salah satu iklan yang di dalamnya terdapat wacana untuk melanggengkan misi kapitalisme melalui wacana yang ditularkan melalui media massa. Padahal tanpa kacang garuda pun kita bisa nonton bola dengan ditemani kacang rebus yang biasanya dijual oleh pedagang-pedagang di kaki lima, bukan kacang garuda yang dijual di mall-mall.

     Oleh sebab itu, generasi muda harus kritis dan tahu bahwa fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat bukanlah tanpa sebab, melainkan ada kepentingan-kepentingan di balik itu semua. Hal ini perlu disampaikan agar generasi muda semakin cerdas, pintar dan selektif dalam menyaring informasi yang tertera di media massa dan tidak langsung “caplok” begitu saja. Penyampaian fenomena di atas juga sembari mengajarkan pentingnya hidup hemat, membeli barang-barang sesuai dengan kebutuhan buka keinginan dan menyadari peserta didik bahwa tampilan-tampilan di media massa hanya memberikan kita kesadaran palsu, membuai dengan tampilan-tampilan yang menarik.

(3) Narsisme

     Sebelum ada media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya, momen piala dunia hanya bisa ditampilkan oleh penggila bola melalui kesetiaannya menonton pertandingan tiap pertandingan klub andalannya. Semenjak ada media sosial, banyak kaum remaja hingga orang tua yang menampilkan eksistensi dirinya ke khalayak luar bahwa dirinya “ada” sebagai pencinta bola sejati. Dengan meng-upload foto sembari mengenakan atribut bola, baik itu baju bola, tato bendera di wajahnya, ataupun meng-update status berbicara tentang euforia yang ia rasakan saat tim jagoannya menang atau sebaliknya. Di sisi lain, Jean Baudrillard melihat fenomena narsisme di jejaring sosial dengan menggunakan atribut bola dan sebagainya adalah pencitraan yang ingin ditampilkan seseorang kepada orang lain bahwa dirinya “ada” sebagai pencinta bola. Apalagi kostum yang ia gunakan adalah kostum dengan brand ternama dan harganya lumayan mahal. Bisa membuat orang berpikir bahwa orang tersebut adalah orang kaya, orang gaul sehingga mampu membeli barang mahal. Ditambah lagi narsis di acara nonbar di café-café yang terbilang elite. Bisa menaikkan citra seseorang, padahal kenyataannya bisa jadi orang tersebut hanya sekedar datang untuk berfoto saja. Jadi, pada intinya orang yang menunjukkan dirinya di media sosial tidak hanya ingin menunjukkan  bahwa ia mencintai sepak bola tetapi juga ingin menaikkan citra melalui latar-latar yang ia gunakan saat berfoto, seperti tempat ia berfoto adalah café, baju yang ia gunakan brand ternama, dan atribut-atribut yang ia beli di mall-mall besar

     Budaya narsisme juga kini sudah mengarah pada tindakan “penipuan” seperti kasus remaja putri di Korea. Seseorang gadis telah banyak menipu pria dengan menunjukkan foto dirinya yang palsu (editan) di jejaring sosial sehingga kelihatan cantik dan berbeda dari aslinya atau sering disebut “Ulzzang”.Tapi setelah ia bertemu dengan si pria, hampir semua pria yang bertemu dengannya merasa tertipu dan langsung pergi karena wajah aslinya sangat berbeda dengan foto yang ia unggah di jejaring sosial. Fenomena ini mesti dikritisi oleh peserta didik, sebab fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda kini mulai mengalami krisis kepercayaan diri tidak ingin jujur menampilkan dirinya ke khalayak luar. Oleh karena itu, fungsi guru adalah selalu menanamkan kepercayaan diri kepada peserta didiknya dan memotivasi siswa agar tetap menjadi diri sendiri.

(4) Bendera Raksasa Negara Tetangga Di Negeri Khatulistiwa

     Fenomena lainnya yang seringkali menandai seseorang demam bola adalah mengibarkan bendera klub andalan di halaman rumah setinggi-tingginya dan selebar-lebarnya. Padahal kalau ditelisik, bendera yang mereka kibarkan adalah bendera negara asing dan tanpa sadar negara yang sempat menjajah Indonesia hampir tiga setengah abad, yakni bendera Belanda dengan percaya diri mereka kibarkan. Sejarah kemarin, para pahlawan kita mati-matian berusaha menurunkan bendera Belanda hingga mengakibatkan banyak para pahlawan kita berguguran. Kenang saja proses penurunan bendera di Singaraja yang dilakukan oleh rakyat Buleleng menyebabkan korban jatuh tak terhitung jumlahnya. Namun kini, tanpa menoleh sejarah masyarakat Indonesia seakan-akan melupakan perjuangan para pahlawan kita yang mati-matian berkorban untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan. Meskipun pengibaran bendera ini hanya sekedar untuk kesenangan belaka, tapi bagi pengamat sejarah fenomena ini sangat memprihatinkan.

     Namun, dibedah dari kacamata teori kritis pandangan dari Jurgen Habermas mengenai dunia kehidupan (life world) adalah reproduksi sosial (Wirawan, 2012: 263), telah memberikan sudut pandang yang berbeda dari aksi-aksi yang dilakukan oleh penggila bola, seperti memasang bendera dalam ukuran besar di halaman rumah merupakan salah satu praktik-praktik yang dibuat secara konstan di masyarakat berdasarkan rutinitas mereka sehari-hari menjelang dan saat piala dunia dilaksanakan. Artinya, rutinitas lingkungan di sekililingnya juga mendorong mengapa penggila bola melakukan kegiatan tersebut setiap menjelang piala dunia dilaksanakan. Seakan terpatri dalam pola pikir masyarakat bahwa setiap momen piala dunia tiba, memasang bendera klub unggulan adalah “wajib” hukumnya. Jadi, apa yang mereka lakukan seperti kegiatan yang “latah”. Malahan, apabila tidak memasang bendera klub andalan, maka orang itu dianggap “cemen”, “gak penggila bola sejati”, dan lain sebagainya. Di sinilah terlihat peran dari masyarakat untuk membentuk dunia kehidupan dari sudut pandang Jurgen Habermas.

     Jean berpandangan lain, fenomena bendera pada ajang piala dunia yang dilakukan oleh sebagian penggila bola hanya ajang pencitraan belaka untuk menunjukkan status sosial yang mereka miliki (Jenny, 2010: 70). Artinya, orang menganggap dengan memasang bendera bola selebar-lebarnya selain sebagai pencinta bola, mereka juga ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang kaya, orang modern, dan orang gaul yang tidak ketinggalan arus informasi.

————————

#Indra Pratama

Pict:https://i0.wp.com/salamadian.com/wp-content/uploads/2017/08/sudut-pandang.jpg?fit=807%2C457&ssl=1