TRADISI DEWA MASRAMAN
Fungsi Dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Oleh : I Gede Indra Pratama
Bali merupakan salah satu dari sekian banyak pulau kecil nan elok yang terdapat di kepulauan Nusantara. Dari masa ke masa Bali terkenal akan keindahan alamnya, terutama pantai. Selain itu, yang menjadi nilai lebih pulau Bali di mata wisatawan adalah tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat bali itu sendiri. Tradisi berarti segala sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi merupakan hasil cipta dan karya manusia objek material, kepercayaan, khayalan, kejadian, atau lembaga yang di wariskan dari sesuatu generasi ke generasi berikutnya. Salah satuny adalah tradisi dewa masaraman. Secara umum tradisi ini mengandung nilai-nilai kearifan lokal seperti, menjalin hubungan harmonis dengan sang pencipta, sesama dan lingkungan sebagaimana konsep tri hita karana. Dewa Masraman merupakan sebuah upacara yang telah menjadi ritual masyarakat Banjar Timbrah, Pasekbali yang diadakan setiap enam bulan sekali bertepatan pada Hari Raya Kuningan. Upacara ini dilaksanakan di halaman Pura Panti Timbrah. Tujuan diadakannya upacara Dewa Masraman merupakan wujud bhakti kepada leluhur-leluhur yang dipuja di Pura Panti Timbrah yang dijabarkan dengan serangkaian rentetan prosesi upacara Dewa Masraman itu. Kata “Dewa Masraman” berasal dari kata “mesra” yang artinya bersenang-senang, bermesraan, bersenda gurau. Dewa Masraman yang berarti Dewa/Bhatara yang bersenang-senang, bersenda gurau, dan bermesraan melalui gerak tarian yang digerakkan oleh “pemedek” (masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara bersangkutan) yang sedang “mundut” (masyarakat yang mengangkat tempat Dewa distanakan berbentuk jempana). Upacara Dewa Masraman sering disama artikan dengan “Dewa Mepalu” (Dewa yang bertengkar) oleh masyarakat awam. Karena pada saat upacara Masraman berlangsung, tandu-tandu/jempana tempat para Dewa yang distanakan seolah-olah seperti berkelahi. Prosesi pada saat itu disebut “Ngambeng” oleh masyarakat setempat. Namun dalam arti sebenarnya, Dewa-dewa tersebut tidak berkelahi atau bertengkar, tetapi mereka bertemu dan bersenda gurau yang digambarkan dengan saling beradunya tandu yang satu dengan yang lainnya.
Menurut pemahaman warga Banjar Timbrah, Dewa Masraman bukanlah ritual Dewa Mepalu. Sebutan ini dinilai salah kaprah. Ini merupakan upacara ketika Ida Bhatara bersenang-senang. Hanya memang, karena prosesi yang disaksikan masyarakat tampak seperti adanya pertempuran dengan ditumbukkannya joli-joli diiringi teriakan khas orang sedang bertempur, banyak yang menyebut upacara itu sebagai upacara Dewa Mepalu, upacara pertempuran dewa. Padahal tumbukan itu adalah aksi ngambeng (berkumpul) Ida Bhatara karena lama tidak bertemu (Denpost : 19 Desember 2010). Dalam prosesi Masraman, banyaknya Dewa yang ikut berjumlah 7 joli. Namun, Dewa yang dituakan yang bernama Ida Bhatara Lingsir tidak diperkenankan ikut karena beliau merasa dituakan dan diharuskan untuk “Nyejer” (tetap dalam posisi semula) untuk menyaksikan upacara berlangsung. Dewa-Dewa yang ikut serta dalam upacara Dewa Masraman antara lain; Ida Bhatara Ratu Gumang, Ida Bhatara di Batur, Ida Bhatara Ratu Kelod-Kangin, Ida Bhatara Manik Botoh (Manik Angkeran), Ida Bhatara Ratu Nnganten, Ida Bhatara Manik Bingin, dan Sapta Rsi Lainnya. Sapta Rsi yang dimaksud antara lain Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Mpu Semeru, Mpu Ghana (Jro Mangku Gede, 2003 : 55 ; Sumber: Hasil dari wawancara dengan Pemangku Made Mustika).
Dilaksanakannya tradisi Dewa Masraman sebagai wujud bakti umatnya kepada para leluhur agar senantiasa disertai dan diberikan keselamatan melalui serentetan upacara yang dilaksanakan dalam prosesi Dewa Masraman. Secara umum, tradrisi Dewa Masraman memiliki beberapa fungsi diantaranya.
1. Fungsi Religius
Pelaksanaan tradisi Dewa Masraman merupakan salah satu bentuk pengaplikasian dari konsep kultus Dewa Raja yang mengandaikan bahwa seorang raja/seseorang pemimpin yang dianggap memiliki kemampuan lebih (sakti dan kuat) adalah keturunan dewa dan layak dihormati (Sagimun, 1987: 50; Kartodirdjo, 1975: 189 ; Soekadijo, 1958: 28). Ida Bhatara Ratu Gumang, Ida Bhatara di Batur, Ida Bhatara Ratu Kelod-Kangin, Ida Bhatara Manik Botoh (Manik Angkeran), Ida Bhatara Ratu Nganten, Ida Bhatara Manik Bingin, dan Sapta Rsi lainnya, merupakan representasi masyarakat Banjar Timbrah dalam menghormati leluhur mereka. Pengormatan tersebut bertujuan agar masyarakat setempat, terutama keturunan Pasek Bugbug senantiasa dilindungi, diberikan panen melimpah dan dijauhkan dari segala bentuk penyakit. Dengan diadakanya tradisi ini, masyarakat Banjar Timbrah percaya bahwa mereka akan senantiasa dilindungi dari alam sorga oleh para leluhur mereka.
2. Fungsi Sosio-Kultur
Selain itu, pelaksanaan tradisi Dewa Masraman merupakan salah satu upaya untuk menguatkan identitas kolektif warga Banjar Timbrah yang notabene sebagai generasi Pasek Bugbug Karangasem. Agar generasi muda mengetahui asal-usul nenek moyang mereka melalui tradisi Dewa Masraman yang serupa dengan tradisi Mabiasan di Bugbug, Karangasem. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan memperkuat ikatan dan loyalitas terhadap kelompok.
Tradisi Dewa Masraman menyediakan fragmen warisan historis dan di dalamnya terdapat onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan generasinya dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan. Sayangnya, budaya yang telah dibangun oleh para leluhur perlahan mulai tergerus oleh pemaknaan yang rendah. Menjaga budaya Bali, saat ini lebih bersifat komersil untuk pariwisata.
3. Fungsi Ekonomi
Tradisi Dewa Masraman merupakan salah satu sumber potensial untuk membangkitkan perekonomian masyarakat setempat. Kondisi ini tidak saja menguntungkan dalam bidang perekonomian, melainkan juga menambah tanggung jawab masyarakat bersama untuk tetap menjaga kesakralan budaya yang tercermin dari tradisi Dewa Masraman. Tujuannya untuk menghindari pelaksanaan budaya yang tidak bertanggung jawab, dengan ditandai kaburnya nilai suci dan sakral pada budaya yang bernilai komersil. Oleh sebab itu, tanggung jawab generasi saat ini cukup berat dalam membentengi pelaksanaan budaya agar tetap berada pada koridor nilai-nilai yang ideal.
Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Terkadung Dalam Tradisi Dewa Masraman
Selain sebagai wujud bhakti kepada leluhur, tradisi Dewa Masraman merupakan pencerminan nilai-nilai Tri Hita Karana, yakni Parahyangan, Pawongan, Palemahan yang diamalkan oleh masyarakat Banjar Timbrah Paksebali (Pageh, 2011: 15; Parimartha, 2011: 44; Sutedja, 2012: 10; Adi, 2012: 3; Bawa Atmadja, 2010: 374). Nilai parahyangan terlihat dari wujud bhakti masyarakat kepada leluhurnya sebagai bentuk kepercayaan bahwa kehidupan tidak hanya terjadi di alam sekala melainkan juga di alam niskala yang tidak tampak. Nilai Pawongan tampak pada semangat gotong-royong saat masyarakat bersama-sama, bahu membahu mempersiapkan sarana upakara. Kebersamaan lainnya juga tampak pada saat prosesi ”Megibung”, dimana masing-masing individu yang memiliki karakter berbeda, status yang berbeda disatukan menjadi satu persepsi dalam acara megibung untuk mendapatkan kesatuan pemikiran. Dan nilai palemahan mereka implementasikan dari wujud menjaga kelestarian lingkungan, seperti sungai Taman Segening sebagai tempat prosesi Mesucian agar tetap lestari dan bersih.
Sumber:
- Jro Mangku Gde Ketut Soebandi. 2003. Babad Pasek Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Denpasar: Pustaka Manik Geni.
- Pageh, I Made. 2000. Buku Ajar Pengantar Ilmu Sejarah. Singaraja : IKIP Singaraja.
- Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Narasumber Dalam Wawancara
- Nengah Nirda : Sebagai Klian Pura Dadia Panti Timbrah, Paksebali
- Made Mustika : Sebagai Pemangku Pemucuk di Pura Dadia Panti Timbrah, Paksebali